Selasa, 14 Januari 2014

Perekonomian Indonesia Orde Kolonial (Masa Sebelum Kemerdekaan)


Sebelum merdeka, Indonesia mengalami penjajahan. Ada empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam.

1.      Pendudukan Belanda
Pada masa kolonial dibawah pemerintahan Belanda hasil perkebunan rakyat (gula, kopi, tembakau, teh, kina, karet dan minyak sawit) Indonesia di kelola secara professional dan matang sehingga mampu merajai pasaran dunia. Menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda, bank-bank sudah bertebaran, pasar modal telah beroperasi, modal asing membanjir, infrastruktur ekonomi yang memadai, dibukanya pelabuhan-pelabuhan yang siap melayani bongkar muat kapal, dan tersedianya jalan kereta api 
Namun, di sisi lain, keadaan warga pribumi berbanding terbalik dengan kemajuan ekonomi tersebut. Penerimaan warga pribumi jauh lebih sedikit dibanding dengan penerimaan warga kulit putih. Dari pendapatan sekitar 670 juta gulden, pribumi hanya menerima 3,6 juta gulden saja (0,54%) untuk populasi 59,1 juta jiwa, sedangkan penduduk tionghoa yang populasinya 1,3 juta jiwa menerima 0,4 juta gulden, dan sisanya 665 juta gulden dinikmati warga kulit putih yang populasinya hanya 241.00 jiwa. 
Belanda yang saat itu menganut paham Merkantilis benar-benar menancapkan kukunya di Hindia Belanda. Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte leverentie (kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC ) dan contingenten (pajak hasil bumi) dirancang untuk mendukung monopoli Pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda. Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC.

2.      Pendudukan Inggris
Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent (pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu, dengan landrent, maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India. Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari negara penjajah.
Perubahan yang  mendasar dalam perekonomian ini sulit dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris .Sebab-sebabnya antara lain :
-          Masyarakat Hindia Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang, apalagi untuk menghitung luas tanah yang kena pajak.
-          Pegawai pengukur tanah dari Inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.

3.      Masa Cultuurstelstel (sistem tanam paksa)
Pemerintahan Inggris hanya bertahan selama lima tahun dan Hindia Belanda kembali jatuh ke tangan Belanda. Cultuurstelstel adalah pengganti Landrent, mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia. Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.

4.      Pendudukan Jepang
Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran.  Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor.









Orde Lama

Ada tiga hal penting di era orde lama :
1.      Pemerintah menempuh kebijakan ekonomi tertutup
Implementasi dari kebijakan ini adalah orientasi hubungan luar negeri lebih dominan ke negara-negara timur dan tertutup bagi negara-negara barat. Negara timur adalah negara penganut paham komunis, sehingga ketika itu paham komunis mulai tumbuh di Indonesia.
2.      Muncul paham nasakom
Bung Karno sebagai penggagas Pancasila, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, adanya ancaman dari PKI dan dalih demi persatuan indonesia, Bung Karno merangkul PKI yang kemudian memunculkan paham nasakom (nasionalis, agama dan komunis).  Dengan demikian, Bung Karno tidak lagi konsisten terhadap apa yang telah digagasnya, yaitu Pancasila.
3.      Inflasi mencapai 600%
Antara tahun 1960-1965, keadaan perekonomian indonesia semakin parah, bahkan ketika itu inflasi mencapai 600%. Hal ini bisa terjadi karena kebijakan APBN defisit yang ditempuh pemerintah, sehingga ketika terjadi kekurangan dana, pemerintah akan selalu mencetak uang, padahal hal ini akan menyebabkan inflasi yang sangat tinggi.

Adapun periode-periode dalam era orde lama adalah sebagai berikut:
·         Periode 1945 – 1950 (Masa Pasca Kemerdekaan)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :
-          Lahan dan hasil sumber daya alam masih dikuasai Belanda.
-          Inflasi yang sangat tinggi  karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali
-          Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI
-          Kas negara kosong
-          Terjadi dualistik struktur usaha, ada dua pola yang saling berdampingan, tetapi mempunyai perbedaan yang nyata di segala bidang, meliputi skala, permodalan, sistem manajemen, pemasaran dan sistem operasional. Kedua pola tersebut didasari oleh kepentingan penjajah dan disisi lain pertanian (pangan) rakyat.
-          Penduduk pribumi dijadikan kuli dengan upah sangat rendah.
-          Gerakan Koperasi sangat rendah.
-          Instabilitas Ipoleksosbudhankam.
-          Daya saing produk lokal kalah jauh.
·         Periode 1950-1957 (Masa Demokrasi Liberal)
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
-          Gunting Syarifuddin
yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
-          Program Benteng (Kabinet Natsir)
yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing).
-          Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi,
-          Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I)
yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi.

·         Periode 1959-1967 (Masa Demokrasi Terpimpin)
Kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil adalah:
-          Kebijakan nasionalisasi
Pada tahun 1957/58, Pemerintah menerapkan kebijakan nasionalisasi yaitu  Pengambil alihan semua perusahaan-perusahaan Belanda menjadi milik Indonesia. Namun malah membuat merosotnya kinerja perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi karena lemahnya kemampuan manajerial, minimnya pengetahuan dan keterampilan, lemahnya permodalan, dan lemahnya penguasaan pasar akibat diekspornya produk-produk lokal ke Belanda.
-          Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon)
Pembentukan Deklarasi Ekonomi dimaksudkan untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin namun dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-barang naik 400%.
-          Devaluasi
Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi dan diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya.
-          Ekonomi tertutup
Ditempuhnya kebijakan ekonomi tertutup, pemerintah menolak semua bentuk bantuan, baik dalam bentuk pinjaman ataupun permodalan, sehingga hal ini menyebabkan instabilitas Ipoleksosbudhankam.
-          Peranan koperasi baru dimulai.
-          Pemerintah menempuh APBN defisit
artinya setiap terjadi kekurangan pendapatan/anggaran, pemerintah tidak menjual aset-asetnya tetapi dengan mencetak uang. Disisi lain hal ini akan menyebabkan inflasi yang sangat tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar